Sejarah

Sejarah
Kota Bangun merupakan salah satu permukiman tertua di Kabupaten Kutai Kertanegara, selain itu juga ada daerah Kutai (Kutai Lama) dan Bunyut, nama ketiga daerah ini sudah ada disebut di dalam Hikayat Banjar yang bagian terakhirnya ditulis pada tahun 1663. Kota Bangun merupakan asal daerah Raden Aria Dikara ayahanda Gusti Barap, isteri Panembahan di Darat (mangkubumi dari Sultan Inayatullah & Sultan Saidullah).
Situs Tanjung Urigin berada di bukit kecil yang tingginya sekitar 21 meter dpl dan memiliki luas ± 7 Ha. Lokasi yang dikenal oleh masyarakat sebagai gunung Tanjung Urigin ini terletak di sisi sebelah utara Sungai Mahakam pada sebuah meander sungai. Bukit ini diapit oleh rawa pada sisi barat dan timur. Namun kini kedua sisi rawa ini telah berubah fungsi menjadi areal persawahan.
Morfologi wilayah Kecamatan Kota Bangun terdiri dari Perbukitan bergelombang, pedataran, dan rawa. Morfologi perbukitan berkembang di wilayah bagian selatan-timur sedangkan pedataran dan rawa berkembang di wilayah barat-utara. Perbukitan tertingginya terletak di bagian tenggara yaitu Bukit Ngawang ± 268 meter dari permukaan laut dan pedatarannya mempunyai ketinggian rata-rata 3 sampai 17 meter dari permukaan laut (Tim Penyusun, 2007:9).
Sungai utama yang mengalir melewati daerah ini adalah Sungai Mahakam yang arah aliran dari baratdaya-timurlaut. Sungai ini memiliki beberapa anak sungainya seperti Sungai Ngasinan, Sungai Kedangmurung, Sungai Semayan, Sungai Balikpapan dan Sungai Belayan.
Hasil survei yang dilakukan di sekitar situs berhasil mengumpulkan beberapa informasi yang terkait dengan keberadaan Situs Tanjung Urigin antara lain :
- Naskah berupa Surat Pengangkatan, Silsilah dan Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara
Naskah- naskah yang ditemukan semuanya dapat dikelompokkan ke dalam naskah baru seperti naskah berupa surat keputusan sultan sultan Kutai Kartanegara tahun 1999 yang mengangkat beberapa pejabat di lingkungan kerajaan. Yang menarik dalam upacara pengangkatan tersebut dihadiri oleh sembilan kerajaan vasal di sekitar Kutai Kartanegara. Salah satunya adalah utusan dari Kerajaan Kota Bangun. Dengan demikian meskipun secara fisik kerajaan Kota Bangun sudah tidak dapat diketahui lagi namun eksistensinya masih diakui sampai sekarang terbukti dengan diundangnya wakil dari kerajan Kota Bangun untuk hadir dalam upacara penting di kerajaan Kutai Kartanegara.
Naskah kedua berupa silsilah kerajaan Sribangun yang ditulis dengan menggunakan mesin ketik di atas kertas yang tidak terlalu tua. Sebagian ditulis dengan menggunakan tinta sebagai bagian dari revisi. Dalam silsilah sket Pendava 7 ini dipercaya bahwa pendiri kerajaan Sribangun adalah Aji Sultan Kapa I. Aji Sultan Kapa I dipercaya merupakan keturunan dari Aji Jawa yang pada awalnya membangun pemukiman di Desa Pahak, lalu sempat berpindah sebanyak dua kali yakni di Desa Batu Belah dan Rajak sebelum akhirnya memilih Tanjung Uringin sebagai tempat terakhir bagi kerajaan Sribangun. Nara sumber Bapak Sabran atau lebih dikenal dengan Bapak Otoh menurut silsilah ini merupakan generasi ke-6 dari Aji Sultan Kapa I. Dalam sket ini juga dijelaskan perubahan nama dari Sribangun ke Kota Bangun.
Naskah ketiga berupa foto copy dari teks aslinya yang disimpan di rumah Bapak Ismail, penulis naskah yang kini tinggal di Melak, Kabupaten Kutai Barat. Naskah yang berukuran 21 x 33 cm dan hanya terdiri atas 1 folio saja. Kolofon yang ada berupa tulisan angka, “1 Desember 1960”. dan ditandatangani oleh penulisnya, H, Ismail. Berisi silsilah Awang Long dimana nama asli Awang Long, yaitu Awang Langkerok, lahir pada 1782. Ia diberi dua gelar oleh Sultan Tenggarong. Yang pertama Panglima Mandar, dan yang kedua Pangeran Ario Awang Long Singopati. Dalam silsilah tersebut, seluruh keturunan Awang Long diberi gelar awing untuk pria dan dayang untuk wanita.
- Makam-makam Kuna
Situs makam kuna ini berada di sebelah timur Sekolah Dasar No.06 Kota Bangun. Di situs ini ditemukan beberapa makam kuna yang letaknya tersebar dalam radius 100 meter. Beberapa dari Makam kuna ini bahkan ada yang dalam kondisi tidak terawat. Nisan makam ini dibuat dari kayu ulin. Kondisinya sudah retak-retak dan rusak, sekalipun bentuknya masih dapat dikenali sebagai bentuk gada. Nisan dalam bentuk dan gaya seperti ini masih dapat dikenali sebagai nisan tipe Aceh. Pada bagian tubuh nisan terdapat inskripsi yang sangat aus. Sebagian huruf-hurufnya dapat direkonstruksi dan dibaca bertuliskan H…255 dan 1312 Hijrah.
Temuan masyarakat yang cukup menarik lainnya adalah berbagai wadah keramik asing dan stoneware yang berasal mulai dari Dinasti Song (10-12 M) sampai Dinasti Ching (18-20 M), mata uang asing, dan manik-manik . Kegiatan survei selain dilakukan di sekitar Tanjung Urigin maka survei arkeologi juga dilakukan di beberapa lokasi antara lain:
- Desa Kota Bangun Seberang
Desa ini terletak berhadap hadapan dengan situs Tanjung Urigin yang hanya dipisahkan oleh sungai Mahakam. Di desa ini masih ditemukan beberapa rumah tua (rumah bahari) yang umumnya berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu ulin. Selain itu ditemukan beberapa konsentrasi makam kuna yang nisannya memiliki kesamaan dengan nisan-nisan di situs Tanjung Urigin. Salah satu nisan kuna yang cukup menarik adalah Nisan Syarifah Fatimah yang terletak di belakang rumah penduduk. Nisan makam ini kondisinya sudah amat aus, dan bagian tengah atasnya terbelah. Nisan makam hanya satu buah dengan bentuk pipih dari atas lengkung semakin kebawah semakin mengecil dan bagian bawah berbahu. Tidak diketahui secara pasti siapakah Syarifah Fatimah. Namun yang diketahui adalah bahwa dia termasuk salah seorang yang menyebarkan Islam di Kota Bangun. Melihat gaya nisan makamnya adalah makam nisan tipe Aceh perkembangan. Nisan makam tipe ini berkembang sekitar abad ke-18 -19 M.
- Desa Rajak
Makam Patih Menggala terletak di atas bukit yang oleh masyarakat disebut sebagai kawasan Rajak. Di atas bukit ini terdapat beberapa makam kuna, di antaranya juga makam baru. Makam Patih Menggala terletak paling atas. Kondisi makam sekarang sudah diberi pagar yang didalamnya terdapat dua nisan baru, satu nisan makam asli, dan satu lagi nisan makam yang tidak ditancapkan ke tanah. Nisan makam asli berbentuk pipih, dengan ukuran lebar 23 cm, tinggi 90 cm, tebal 3 cm. Sementara lebar bagian bawah 16 cm (Tim Penyusun, 2007: 37).
Pertanyaan tentang kapan awal munculnya permukiman di daerah Kota Bangun bukanlah hal yang mudah dijawab. Untuk menyusurinya, biasanya asal nama daerah seringkali menjadi petunjuk tentang keberadaan permukiman di daerah tersebut. Menurut tradisi lisan, asal kata Kota Bangun sendiri berasal dari cerita tentang salah seorang pembesar kerajaan Kutai Kartanegara yang melakukan perjalanan ke daerah pedalaman dan terbangun di daerah ini sehingga menandai daerah ini sebagai tabangun (terbangun) akhirnya menjadi Kota Bangun. Versi lain yang berkembang adalah bahwa dahulu ada seorang pembesar kerajaan bernama patih Bangun yang membangun daerah ini sehingga dinamai sebagai daerah Kota Bangun.
Secara topografi daerah ini memang sangat strategis, selain merupakan satu-satunya areal yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitarnya, daerah ini paling mudah untuk dijadikan ancer-ancer bagi siapapun yang melakukan perjalanan baik dari Kutai ke daerah pedalaman ataupun sebaliknya karena gunung Tanjung Uringin tepat berada di meander Sungai Mahakam.
Dari cerita ini tampak bahwa daerah Kota Bangun mulai dikenal setelah munculnya kerajaan Kutai Kartanegara yang berdasarkan Salsilah Kutai didirikan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Dalam salasilah tersebut juga disinggung sebuah kerajaan yang bernama Paha yang berlokasi di Kota Bangun. Namun hal ini tidak berarti bahwa daerah Kota Bangun mulai dihuni sekitar abad ke-17 karena bukti arkeologi berbicara lain. Bukti paling awal bahwa daerah ini sudah dijelajahi oleh manusia adalah temuan arca Buddha pada awal tahun 1846. Sayang lokasi secara detail tidak diketahui kembali. Arca Buddha yang terbuat dari perunggu setinggi 58 cm ini termasuk arca yang jarang ditemukan di Indonesia ini pertama kali diketahui dari buku harian milik Von Gendawa-Gie. Awalnya arca ini dimiliki oleh sebuah keluarga muslim yang tinggal di tepi sungai Keham, salah satu anak sungai yang mengalir ke Danau Uwis yang terletak di tepi kanan sungai Mahakam antara Muara muntai dan Kota bangun (Anwar Soetoen,57: 1979). Arca digambarkan dalam posisi berdiri dengan sikap tangan kanan witarkamudra. Tangan kiri memegang wadah kecil. Pada bagian kepala tidak terdapat urna dan usnisa. Arca mengenakan pakaian sampai ke atas mata kaki dengan bagian bahu kanan terbuka. Salah satu bagian yang menarik adalah adanya membran(jaring) di antara jari-jari tangan yang menjadi ciri dari arca Gandhara di barat laut India (Kempers,49: 1959).
Temuan dari masa klasik (Hindu-Buddha ) lainnya adalah arca Nandi yang terbuat dari batu andesit. Arca ini ditemukan di belakang SD Negeri Kota Bangun 06 di areal Gunung Tanjung Urigin. Arca digambarkan dalam posisi duduk dengan kedua kaki depan dilipat ke depan. Bagian kepala sudah hilang serta ujung ekor berada di tubuh bagian belakang arca. Arca ini dipahatkan pada sebuah lapik arca yang menjadi satu dengan arca tersebut.
Apakah kedua temuan dari masa Hindu-Buddha ini ada kaitannya dengan kehadiran sebuah kerajaan bersifat Hindu Buddha di Muara Kaman yang berdasarkan kajian paleografi terhadap sejumlah Yupa prasasti berasal dari sekitar abad ke-5 ? Memang belum jelas, karena temuan arca Buddha ini merupakan temuan lepas yang lokasi tempat temuannya tidak dapat diketahui lagi sedangkan arca Nandi sendiri memang ditemukan di Tanjung Urigin Apakah kehadiran dua arca tersebut sama artinya bahwa di Kota Bangun telah ada permukiman dari masa Hindu-Buddha? Hal inipun belum jelas benar karena tidak ada data pendukung lain selain kedua arca tersebut. Sedangkan kedua arca tersebut sifatnya mudah dibawa dan dipindahkan. Nampaknya hal yang paling logis adalah keberadaan arca-arca tersebut di Kota Bangun terkait dengan aspek perdagangan yakni adanya usaha pencarian barang komoditi sampai ke daerah pedalaman Kalimantan.
Seperti diketahui bahwa pada masa awal pengaruh Hindu-Buddha di Nusantara, wilayah Sumatra dan Kalimantan terkenal dengan produksi emasnya. Coedes menduga perkenalan budaya India sampai ke Nusantara dilatarbelakangi oleh pencarian emas. Hal ini terjadi karena pada awal masehi India kehilangan sumber pemasok emas dari Siberia. Sebelumnya para kafilah Siberia melalui Baktria memasok emas ke India. Akses ini terputus karena gerakan berbagai bangsa di Asia Tengah.
Akibatnya India mencari emas ke daerah lain di antaranya daerah timur India (Coedes,1967: 20; Sumadio,1990:11). Sampai saat ini di daerah Tabang (daerah hulu Sungai Mahakam) merupakan daerah yang memiliki potensi emas yang cukup prospek dan temuan arca Buddha terbuat dari emas menunjukkan bahwa daerah ini telah dikenal sebagai penghasil emas pada masa lalu. Kemungkinan pada masa lalu telah ada usaha pencarian sumber emas sampai ke daerah ini.
Faktor lainnya yang memicu kehadiran budaya India sampai ke pedalaman Kalimantan adalah sumberdaya alamnya. Roy Ellen menyatakan bahwa perdagangan rempah-rempah telah mendorong terjadinya proses indianisasi dan memfasilitasi penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara. (1977:25; Ardika,2003:15) Tentunya untuk mencapai lokasi ini dari pesisir memerlukan tempat-tempat persinggahan yang salah satunya di daerah Kota Bangun. Dipilihnya daerah Kota Bangun sebagai daerah transit tidak lepas dari posisi geografi dimana gunung Tanjung Urigin yang terletak di meander sungai sangat mudah didatangi dari sungai Mahakam.
Masalahnya kapan daerah Tanjung Urigin menjadi pusat permukiman yang menjadi sentral bagi permukiman yang lebih kecil di daerah pedalaman Kota Bangun? Dari hasil survei dan ekskavasi di Tanjung Urigin tampak bahwa di daerah ini padat dengan temuan fragmen keramik dan tembikar. Fragmen keramik ini berasal dari Cina, Annam, dan Thailand yang dijadikan komoditas perdagangan paling laris. Dari hasil analisis terhadap temuan fragmen keramik diketahui bahwa keramik paling tua berasal dari sekitar abad ke 13 M dan fragmen keramik dari dinasti Ming (15-17 M) dan Ching (18 -20 M) merupakan temuan keramik paling padat. Sedangkan Naskah Salsilah Kutai menyingggung adanya kerajaan Paha sekitar awal abad ke 17 di Kota Bangun. Pada saat permukiman di Tanjung Urigin mencapai puncaknya tampak bahwa di daerah sekitar Tanjung Urigin juga mengalami perkembangan, tercatat adanya toponim kampung Bugis di seberang Tanjung Urigin (Kota Bangun Seberang) dan Rajak.
Selain Tanjung Urigin, beberapa wilayah di bagian hulu Kota Bangun juga muncul permukiman dalam skala yang lebih kecil seperti daerah Kedang Dalam, Kedang Ipil, Lebak Cilung, Lebak Mantan dan Keham. Diberitakan bahwa permukiman ini merupakan permukiman suku Kutai asli yakni Suku Kedang. Letak kampung-kampung tersebut berada di daerah pedalaman yang untuk mencapainya harus melalui sungai Mahakam ke arah hilir lalu masuk sungai Sedulang / Kedang Dalam lalu masuk lagi ke anak sungai Kedang Ipil. Sulit dibayangkan ada permukiman permanen di daerah pedalaman (Kedung Dalam dan lainnya) pada abad ke-17 tanpa ada dukungan dari permukiman induk/ permukiman yang lebih besar. Permukiman induk tersebut adalah permukiman di Gunung Tanjung Urigin.
Pada perkembangannya, daerah Tanjung Urigin dianggap sebagai tempat berdirinya pusat kerajaan Kota Bangun dengan rajanya bernama Patih Bangun. Kerajaan Kota Bangun merupakan salah satu kerajaan vasal dari Kerajaan Kutai Kartanegara. Anggapan ini didukung oleh temuan pending emas di daerah ini. Selain itu, kehadiran parit tanah di bagian utara dari Tanjung Urigin dipercaya sebagai parit pertahanan Awang long, salah satu panglima kerajaan Kutai Kartanegara.
Adapun benteng tanah yang ditemukan di Tanjung Urigin saat ini tersisa sekitar 40 meter dengan ketinggian 1.5- 2 meter dari parit. Namun tentunya dahulu saat benteng ini masih berfungsi memiliki panjang hampir 85 meter yang menghubungkan daerah rawa bagian barat dan timur. Dan parit yang berada di depan benteng tanah harusnya memiliki kedalaman lebih dari 3-4 meter, sebagaimana layaknya parit parit pertahanan yang pernah ditemukan.
Cukup menarik perhatian bahwa benteng tanah dan parit di Kota Bangun dibuat dengan pola linier. Biasanya benteng dan parit pertahanan akan dibuat mengelilingi permukiman dengan pola melingkar. Sehingga seluruh permukiman akan terlindungi. Untuk masuk dan keluar benteng maka dibuat satu bagian dari benteng yang memiliki jembatan. Jembatan ini dapat dipasang dan dilepaskan sesuai dengan kebutuhan. Untuk meningkatkan keamanan, parit-parit ini akan dipasangi jebakan yang dapat mencelakakan siapapun yang terjatuh ke dalam parit. Namun pola linier pada benteng dan parit tanah cukup masuk akal karena lingkungan tanjung Urigin yang dibatasi oleh rawa pada bagian barat dan timur. Sehingga dengan cukup membuat parit dan benteng tanah mulai dari sisi barat dan timur rawa maka permukiman di sisi utara sudah cukup aman dari serangan musuh. Benteng tanah dengan parit ini akan berfungsi dengan logika bahwa musuh yang datang melalui jalur Sungai Mahakam akan selalu turun di sebelah selatan Tanjung Urigin dan akan terus ke arah utara. Pada saat mencapai sisi selatan benteng, maka akan kesulitan menembus benteng karena dihadang oleh parit yang cukup dalam dan rawa di sisi timur dan baratnya.
Salah satu hal yang cukup menarik adalah hasil ekskavasi menunjukkan bahwa areal di bagian selatan benteng (sektor KBU 1,2,4) menunjukkan sisa permukiman yang padat sedangkan bagian utara benteng (sektor KBU 3) tempat ditemukan pending emas ternyata steril dari temuan arkeologi. Jika demikian apakah sisi selatan benteng (dekat sungai makaham) merupakan areal permukiman penduduk biasa sedangkan sisi utara benteng merupakan permukiman kelompok elit?
Perkembangan Pemukiman di Kota Bangun
Secara teoritis, perkembangan kota Kota Bangun pada mulanya termasuk dalam kota yang terbentuk secara spontan. Kota semacam ini biasanya tumbuh dalam jangka waktu lama. Cepat atau lambatnya pertumbuhan suatu kota sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek seperti geografis, ekonomi, sosial, dan politik. Seperti yang telah disebutkan bahwa sebagai daerah yang tumbuh secara spontan pemilihan lokasi permukiman Kota Bangun pertama kali di Tanjung Uringin besar kemungkinan pemilihan lokasi lebih karena alasan strategis dan daerahnya lebih tinggi dari sekitarnya. Awalnya mungkin daerah ini tidak lebih sebagai daerah transit untuk masuk lebih jauh ke pedalaman. Baru pada sekitar abad ke-17 M, berdiri kerajaan Paha di Kota Bangun. Perpindahan ibukota kerajaan dari Kutai Lama ke Tangga Arung (Tenggarong) pada sekitar tahun 1782 M atau dari daerah pesisir ke pedalaman Kalimantan memberi dampak bagi berkembangnya “daerah jelajah” pada pusat-pusat produksi/ sumberdaya alam ke arah pedalaman Kalimantan. Hal itu juga yang menyebabkan daerah Kota Bangun berkembang menjadi subbandar. Sebagai subbandar, posisi Kota Bangun sebagai daerah transit bagi kegiatan ekonomi, tempat mengumpulkan hasil-hasil hutan dan tambang dari daerah pedalaman
Jika keberadaan permukiman di situs Tanjung Urigin dan situs-situs di sekitarnya dibuat dalam penjenjangan situs dilihat dari besaran dan posisinya dalam skala makro maka gambarannya adalah sebagai berikut : Posisi Kutai lama sebagai pusat kerajaan Kutai Kartanegara yang sekaligus sebagai entreport (bandar) tempat pertemuan para pedagang dari kawasan Nusantara berada pada level tertinggi (1) dari penjenjangan permukiman yang posisinya ditunjang oleh subbandar di daerah pedalaman termasuk bandar yang berada di Tanjung Urigin, Kota Bangun, sehingga tidak heran jika pada masa itu telah ada sebuah kerajaan vasal yang berdiri di Kota Bangun. Subbandar ini berada pada level kedua (2) dari penjenjangan permukiman yang berfungsi untuk mengumpulkan komoditas yang dihasilkan langsung dari lokasi tempat sumberdaya itu berada seperti di Kedang Ipil, Sedulang dan Rajak. Pemukiman di Kedang Ipil, Sedulang dan Rajak adalah permukiman pada jenjang terbawah (3) dimana lokasinya dekat dengan sumberdaya alam yang sedang dieksploitasi.